2 Oktober 2011

5 Mental Polisi & Citra Negatif Polri


Mayoritas rakyat sudah tidak lagi percaya terhadap polisi. Apalagi setelah kasus kriminalisasi KPK. Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, banyak rakyat cenderung memandang negatif polisi. Persepsi masyarakat yang buruk terhadap polri ini bisa dimaklumi. Boleh dikatakan, ini puncak kekecewaan rakyat terhadap sikap polisi selama ini.

Tulisan ini bukan untuk memojokkan posisi polri. Sebaliknya, tulisan ini adalah harapan dan cinta rakyat agar polisi Indonesia semakin baik dan profesional.


Nah, kembali ke tulisan awal, jika saya ditanya mengapa saya kecewa dan memandang negatif polisi, itu karena persepsi saya terhadap mental polisi sudah terlanjur negatif. Berikut beberapa mental negatif yang harusnya segera diperbaiki:


1. Mental suap: ada uang, semua urusan beres
Perhatikan bagaimana proses rekrutmen polisi. Bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau ingin menjadi polisi harus membeli “tiket masuk” alias suap? Dengan proses rekruitment yang buruk ini tentu berimbas pada minimnya orang jujur dan berintegritas di tubuh polri. Bagaimana mereka hendak menegakkan kebenaran dan keadilan sementara mereka sendiri bukan termasuk orang-orang yang benar dan adil? 


Perhatikan pula proses mendapatkan SIM (Surat Izin Mengemudi). Jika polisi ingin bersih dari mental ini, seharusnya mereka tidak memperbolehkan pembelian SIM (nembak/suap) tanpa ujian. Yang terjadi sekarang ini adalah: Polisi berburu pengemudi tanpa SIM (rakyat dipaksa harus punya SIM), rakyat dipersulit mendapatkan SIM dengan proses yang benar (ujian), & sebaliknya dengan cara menyuap cenderung dipermudah.


Dengan demikian, bukan hanya membudayakan suap di kalangan internal saja, polri juga mendidik rakyat bermental suap. Nah, kalau suap-suap kecil ini dianggap biasa dan menjadi budaya, tentu tidak heran jika suap besar untuk melakukan konspirasi dan fitnah bisa diterima begitu saja.

2. Manipulatif
Entah berapa banyak orang yang sebenarnya tidak bersalah dipaksa oknum polisi untuk mengaku salah. Mereka bahkan diancam dan disiksa jika tidak mengakui sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahannya. Ada keluarga saya yang jadi korban mental polisi yang satu ini. Orang yang tidak bersalah tetapi dipaksa untuk mengaku salah. Ini adalah kejahatan teror dan fitnah yang kejam.


3. Yes Man
Menjadi Yes Man pada atasan atau asal taat tanpa pertimbangan nurani dan pikiran jernih kadang menjengkelkan juga. Saya melihat polisi berada dalam strata sosial yang berkelas-kelas. Keutamaan seorang polisi seolah-olah ditentukan oleh pangkat dan jabatannya. Polisi kelas rendahan harus taat pada polisi kelas atas. Walaupun perintahnya kadang tidak benar. Ujung-ujungnya beberapa polisi mengalami konflik bathin dan akhirnya menyerang atasan serta menjadi pemberontak yang menakutkan.


4. Angkuh dan Arogan
Menjadi polisi berseragam memang tampak gagah, berkuasa, punya kekuatan dan sangat berwibawa sekali. Tapi itu bukan alasan untuk bersikap angkuh, sombong, arogan dan mau menangnya sendiri. Sebab, dengan keangkuhan, manusia sebetulnya akan jatuh dan dengan kerendahan hati, manusia akan diangkat. Bukankah seiring dengan kekuatan (kekuasaan) yang besar terdapat tanggungjawab yang besar?


5. Pelit Senyuman
Saya sebetulnya merindukan polisi (terutama polisi lalu lintas) yang murah senyum. Polisi yang melayani dengan tulus dan terpancar kebahagiaan dari wajahnya. Melindungi masyarakat dan bahagia dengan pekerjaannya itu. Bukan pasang tampang kaku, serem dan menakutkan. Kalau sama penjahat sih urusannya lain, tapi kalau sama masyarakat itu namanya keterlaluan. Itu persepsi negatif saya terhadap polri. Saya harap lima tahun dari sekarang persepsi ini berubah. Polisi baik yang sekarang minoritas akan menjadi mayoritas ke depannya. Semoga polri menjadi pahlawan seperti yang ada di film – film Hollywood.
(Nafis Mudrika)
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar